Jika Siswa (Tidak) Naik Kelas

MEMASUKI akhir tahun ajaran, mengolah nilai siswa menjadi nilai rapor adalah rutinitas setiap guru. Tetapi, bagi guru wali kelas, akhir tahun ajaran bisa menjadi saat yang memberatkan. Betapa tidak, pada akhir tahun ajaran mereka harus memutuskan setiap siswa naik kelas atau tidak. Lalu, apa masalahnya jika siswa tak naik kelas atau tinggal kelas?
Setiap sekolah pasti mempunyai syarat atau aturan baku kriteria kenaikan kelas. Secara umum, persyaratan tersebut mencakup: 1. Memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada mata pelajaran; 2. Nilai sikap atau akhlak yang baik; dan 3. Persentase kehadiran 90% dari jumlah hari efektif. Logikanya, jika persyaratan tidak terpenuhi, maka guru kelas setelah musyawarah dengan dewan guru berwenang memutuskan seorang siswa tidak naik kelas. Semudah itukah?
Praktiknya, tidak sedikit guru kelas yang terjebak memutuskan naik tidaknya siswa berdasarkan satu atau dua syarat saja dari tiga syarat tersebut. Ambil dua kasus. Kasus pertama, ada sekolah yang memutuskan siswa yang berperilaku sopan dan rajin masuk sekolah untuk naik kelas meskipun nilainya di bawah KKM. Kasus kedua, ada guru kelas yang �saklek� memutuskan siswa tidak naik kelas berdasarkan nilai-nilai kuantitatif tanpa mempertimbangkan sikap dan persentase kehadiran siswa. Mana yang benar?

Untuk kasus pertama, jika terus dilakukan dapat berdampak tidak baik bagi guru dan siswa bersangkutan. Guru akan merasa tidak perlu ngaya agar siswa bisa tuntas materi sesuai SK dan KD karena jika nilai di bawah KKM pun tetap dinaikkan. Bagi siswa, keputusan itu sama saja membiarkan prestasi akademiknya yang jelek berlanjut.
Untuk kasus kedua, sangat berdampak bagi siswa juga wali siswa. Bagi siswa yang tidak naik kelas, sebenarnya yang paling ditakutkan adalah konsekuensi yang mereka terima karena tidak naik kelas. Mungkin dimarahi atau diberi hukuman oleh orangtua, atau diejek oleh lingkungan. Jika siswa yang tidak naik kelas tadi masih bisa menangis dan melamun, hal itu mengindikasikan dirinya masih mempunyai kesadaran arti prestasi.
Jika wali siswa tidak bisa menerima keputusan sekolah, bisa jadi ia akan membenci dan apatis terhadap sekolah. Lalu memprovokasi orang lain agar tidak memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.
Kenaikan kelas bagi siswa merupakan sebuah prasyarat agar siswa siap mengikuti pelajaran pada jenjang kelas lebih tinggi. Untuk itu, dalam mengambil kebijakan apakah siswa naik kelas atau tidak, guru harus mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Jika merujuk pada kriteria kenaikan kelas, kemudian didapati siswa yang tidak dapat memenuhi kriteria tersebut dan dengan berat hati harus diputuskan tidak naik kelas, maka ada upaya minimal yang dapat dilakukan guru.
Pertama, sebelum memutuskan, guru kelas sebaiknya bermusyawarah dengan dewan guru dan kepala sekolah untuk menerima masukan yang menentukan. Kedua, komunikasi dan diskusi secara baik dengan wali siswa sebelum hari H pembagian rapor. Gunakan bahasa sehalus mungkin mengenai alasan tidak naik kelas agar tidak begitu mengecewakan.
Memberikan saran kepada wali siswa untuk pindah sekolah dapat dilakukan. Pertimbangannya, setelah dievaluasi bisa jadi ada pengaruh lingkungan di sekolah lama yang membuat siswa kurang nyaman dan menjadi tidak naik kelas. Akan tetapi bukan dengan mengkatrol nilai dan menaikkan ke kelas berikutnya asalkan pindah sekolah.
Karena itu, guru kelas memang selain profesional mengajar, juga dituntut menguasai teknik persuasif melayani wali siswa yang tidak naik kelas. Jika terpaksa harus tidak menaikkan, ucapan persuasif yang dapat diutarakan adalah, �Bapak ibu, izinkanlah kami membimbing anak bapak dan ibu setahun lagi di kelas yang sama. Insya Allah akan lebih baik�. q - k
*) Penulis, Guru SD Muhammadiyah Bodon Banguntapan Bantul DIY
http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=6228

No comments:

Post a Comment

Terima kasih...semoga Anda bahagia..